Kisah tentang keberhasilan Usaha Kecil Menengah (UKM) selalu menarik
untuk disimak. UKM hidup melekat di tengah masyarakat untuk memperkuat
kegiatan ekonomi lokal, regional, nasional bahkan internasional.
Kisahnya selalu unik, karena dibelakangnya ada orang-orang yang tangguh,
yang mengenali dan menguasai lingkungannya, dan mencoba memberikan
nilai tambah dalam kehidupan sosialnya. Uniknya adalah ia hidup alamiah
seperti tanaman. Ketika tanaman baru berbentuk benih, tidak seorang pun
melihatnya. Benih itupun bersusah payah beradaptasi dengan
lingkungannya. Kadang benih kekurangan air, terendam air, bahkan juga
termakan serangga,.. tidak seorang pun tahu. Bila benih itu akhirnya
mati.. tamatlah riwayatnya, dan ini jumlahnya sangat banyak. Bagi benih
yang bertahan, maka ia pun masih melanjutkan hidup dalam situasi yang
tidak mudah. Bila kuat dan tangguh maka ia pun berhasil menghasilkan
buah atau hasil panenan. Tanaman inilah wujud UKM yang berhasil, yang
diperankan para entrepreneur.
Namun, UKM yang berhasil… sering galau, mengapa? Karena keberhasilannya
sering diklaim, ditiru, atau dijadikan referensi orang lain. UKM
dikunjungi, dilihat, dan difoto untuk kepentingan pihak lain. Padahal
yang mereka butuhkan adalah solusi atas masalah yang dihadapi, misalnya
teknologi, manajemen, atau pemasaran.
Berikut ini adalah kisah UKM yang penulis rekam dalam kegiatan monev
internal (monevin) Ipteks bagi Pengembangan Ekspor (IbPE) di Universitas
Widyagama Malang, pada tanggal 21 Agustus 2014. IbPE adalah skim
kegiatan pengabdian masyarakat yang dibiayai Dirjen Dikti, untuk memberikan
solusi peningkakan produksi UKM yang berorientasi ekspor. Kegiatan
IbPE memang berorientasi solusi masalah sesuai kebutuhan UKM, bukan
perihal kosmetik yang membuat galau UKM.
Kunjungan pertama adalah ke UKM produksi janggelan, lengkapnya adalah
IbPE USAHA KECIL MENENGAH JANGGELAN PUDER DAN SARI APEL CELUP (Pengusul
Prof. Dr. Ir. Sukamto, MS). Janggelan, nama yang aneh, tidak populer,
paling tidak bagi penulis. Di UKM ini, tanaman janggelan diolah
menjadi bubuk (powder) agar-agar hitam, atau yang populer dengan nama
cincau hitam. Cincau hitam merupakan makanan sehat kaya serat, yang
populer di negara Taiwan, China, Korea dan Asean.
UKM dengan
label UD INTAN SARI JANGGELAN ini terletak Jl. Parangargo no 9,
kecamatan Wagir, kabupaten Malang. Pemilik UKM, yakni pak Gatot (dan
ibu Endang, No HP 081252540807, 0341-8674455),
telah mengusahakan produksi agar-agar hitam janggelan sejak tahun 2007,
dan telah diekspor ke negara-negara Asia. Bahan baku tanaman Janggelan
didapatkan dari wilayah Pacitan, Ponorogo dan sekitarnya. Menurut pak
Gatot, janggelan juga ditanam di Malang Selatan tetapi rendemennya hanya
sekitar 30 persen, sementara rendemen janggelan Pacitan mencapai 65
persen. Ia berterimakasih kepada Prof. Sukamto (dosen Universitas
Widyagama Malang) yang telah membantu dalam hal (i) produksi, yakni
menyediakan mesin pemasak dan bangunan pengering; (ii) manajemen
keuangan, yakni tata kelola, pembukuan dan stok, dan sistem akuntansi,
dan (iii) standarisasi mutu produk, termasuk sertifikasi halal.
Pak Gatot awalnya ragu dengan gagasan peningkatan produksi yang ditawarkan Prof Sukamto. Itu
adalah wujud kegalauan beliau. Beliau sering menerima kunjungan
orang-orang dari Pemda, dosen, peneliti atau mahasiswa, yang sekedar
bertanya-tanya dan berfoto sekedar reportase, untuk kepentingan mereka
sendiri. Ada pula yang menjanjikan bantuan tertentu, namun setelah itu,
mereka menghilang tanpa kabar. Adapun bantuan dari kegiatan IbPE Prof
Sukamto itu sangat nyata dan berkelanjutan, untuk menyelesaikan
masalah dan kendala produksi. Bantuan IbPE bahkan memberi semangat dan
gairah untuk maju dan menghadapi tantangan. Bantuan teknis dan
manajemen IbPE itu dapat meningkatkan produksinya hingga 200 persen dari
kondisi sebelumnya.
Pasar produk UKM janggelan ini telah mencapai Jakarta. Sebagian produknya menggunakan kemasan sendiri, sebagian lainnya dikemas oleh pemesan. Untuk meningkatkan kapasitas pasar, pak Gatot mengupayakan standar mutu produk, serta membuka kerjasama dengan pihak lain untuk repackaging. Sejauh ini, ia belum mampu membuat merk sendiri karena kuatnya persaingan. Untuk memenuhi kebutuhan ekspor pun ia masih menggunakan jasa pihak lain.
Kunjungan kedua adalah ke UKM pasir kucing, lengkapnya IbPE Kelompok Usaha Pasir Kucing (Cat Litter)
di Kabupaten Tulungagung Jawa Timur (pengusul Ir. Candra Aditya, MT).
Nama produk ini pun tidak kalah asing. Pasir kucing adalah produk pasir
yang digunakan oleh rumah tangga yang memiliki hewan peliharaan
kucing. Pasir itu oleh kucing atau anjing menjadi pilihan utama untuk
kencing atau buang kotoran. Begitu kucing menyelesaikan hajatnya,
cairan kencing bereaksi dengan pasir menimbulkan bau wangi, misalnya
jeruk, apel, lavender, atau bau lain sesuai selera. Pasir kucing,
bukan hanya menjaga kebersihan rumah, tetapi juga dapat digunakan
sebagai ‘pupuk’ untuk taman. Produk pasir kucing ini dapat dibeli di
supermarket di kota-kota besar dengan label produk impor Cina atau
Eropa. Padahal itu adalah produk domestik, diantaranya adalah yang
diproduksi di Tulungagung.
UKM pasir kucing terletak di kecamatan Ngunut, kabupaten Tulungagung.
UKM ini mengambil bahan baku batuan bentonit (masuk kelompok galian tipe
C) dari kecamatan Binangun, kabupaten Blitar. Bentonit adalah nama mineral sejenis monmorilonitik yang
kaya liat tipe 2:1. Bentonit memiliki fungsi menyerap air, kation dan
senyawa lain; sehingga memiliki manfaat yang tinggi bagi kehidupan
manusia, dalam bidang pertanian, perikanan, dan industri kimia secara
umum. Bentonit ini yang dapat menyerap bau urine atau udara yang tidak
sedap.
Pengusaha UKM bernama bapak Sugianto, yang menekuni usaha ini sejak
2008. Bantuan IbPE untuk UKM pasir kucing adalah penyediaan mesin
granulator untuk menambah kapasitas produksi. Harus diakui bahwa proses
produksi pasir kucing ini relatif rumit dan panjang, melibatkan banyak
pelaku. Secara ringkas tahapan produksinya adalah (i) penggilingan
batuan, dilakukan oleh rumah tangga sekitarnya, (ii) pengumpulan powder
batuan, (iii) granulasi, dibantu mekanisme spraying air, (iv) pewarnaan
putih, dangan kalsium, (v) pemberian bahan pewangi, (vi) pengeringan,
(vii) pengayakan (sieving), dan (viii) packaging.
Usaha ini secara umum memerlukan ketrampilan sedang, meski awalnya
memerlukan ujicoba campuran komposisi dan penguasaan bahan.
Satu workshop memerlukan rata-rata sepuluh orang pekerja, diluar
pekerjaan penggilingan yang dilakukan oleh rumah tangga.
Sugianto,
yang juga merupakan pengusaha ikan gurami, menyatakan bahwa pasar pasir
kucing masih sangat luas. Produknya sudah dibeli oleh pengusaha asal
Surabaya (pemilik merek dagang). Melalui bantuan IbPE, ia mengembangkan
workshop lainnya untuk meningkatkan produksi dan memperluas pasar.
Kemampuannya terbatas hanya pada memproduksi saja. Perihal pasar,
distribusi dan ekspor sudah ada pihak yang menangani, sehingga tidak ada
tenaga khusus pemasaran. Meskipun harga yang diterima relatif rendah,
ia cukup puas dengan usaha ini, selain memberikan kesempatan kerja bagi
penduduk desa. Menurut pria yang berusia 40 tahun ini, umumnya produsen
pasir kucing menggunakan label asing untuk meningkatkan nilai jual.
Dari tempat IbPE pasir kucing, penulis dan rombongan mengunjungi kampung coklat. Kampung coklatterletak di desa Plosorejo, kecamatan Kademangan, kabupaten Blitar, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Blitar (leaflet lihat disini).
Kami tiba di suatu workshop coklat sekitar jam 16.30. Walaupun sudah
selesai jam kerja, namun kami diberi kesempatan memasuki workshop dan
melihat-lihat pemandangan di dalamnya. Kami ditemui oleh seorang pemuda
bernama Kholid, yang menjelaskan aktivitas workshop tersebut.
Hal
yang membanggakan bahwa di workshop coklat ini, sesungguhnya menjadi
obyek wisata pendidikan perihal budidaya, pengolahan, dan produksi
coklat yang dikemas menghibur dan memuat pengetahuan. Disini ditemui
antara lain kebun mini tanaman kakao, tempat pengeringan, pengolahan
(fermentasi), pembuatan coklat, gerai (toko) coklat, dan taman bermain.
Area workshop ini mencakup kurang lebih sekitar 0.6 ha. Pemandangan
yang menyolok sekaligus indah adalah kebun mini kakao yang sedang
berbuah beraneka warna. Kanopi pohon kakao membentuk gazebo dimana
dibawahnya tersedia meja dan kursi untuk pengunjung yang beristirahat
atau menikmati minuman coklat.
Kebun mini kakao (http://www.antarajatim.net)
Area workshop ini memang agak tersembunyi, terletak dibelakang rumah
penduduk. Penandanya hanya sebuah papan baliho di tepi jalan desa.
Petunjuk ke arah workshop ini pun sangat terbatas di sepanjang jalan
yang kami lalui. Karenanya, pengunjung dari luar kota akan kesulitan
menuju tempat ini. Semoga pemeritah kabupaten Blitar atau pihak lain
segera memberi solusi atas hal ini.
Menurut pak Kholid, workshop ini diorganisasikan oleh koperasi Guyup
Santosa. Koperasi menerima buah kakao dari anggotanya, dan kemudian
mengolahnya di workshop yang baru dibuka sekitar enam bulan yang lalu.
“Kami masih berbenah, perijinan hingga pendaftaran merk sedang
diupayakan. Merk produk coklat adalah Gusant,
terkesan berbau nama Prancis atau ke barat-baratan. Padahal itu adalah
singkatan dari nama koperasi Guyup Santosa”, kata pria yang berputra
seorang itu. Inovasi produk, kemasan, jasa layanan dan promosi koperasi
masih terus dikembangkan. Yang jelas, kampung coklat mulai dikenal,
melalui media massa, internet, TV, atau kerjasama wisata dengan biro
perjalanan.
Saat masuk ke toko (showroom)
coklat, penulis menyaksikan berbagai produk coklat dalam berbagai
kemasan di etalase. Kami dipersilakan mencoba tester butiran coklat
sebesar biji kopi, ada rasa coklat original, karamel, milk, dan crispi.
Tampilan dan interior desain showroom dan etalase cukup baik dan bersih. Showroom berukuran
sekitar 30 m persegi, memuat sekitar 20 pengunjung. Bila ramai,
dipastikan kenyamanan pengunjung di showroom terganggu. Penulis
berharap showroom diperluas,
diisi dengan produk yang bervariasi, diberi pendingin udara dan
pencahayaan, dan layanan kasir yang cepat, paling tidak meniru toko
coklat Singapura.
Produk coklat GuSant dari kampung coklat Blitar tersebut tidak berbeda
dengan produk bermerk di pasaran atau di supermarket kota besar
Indonesia. Penulis pernah membeli oleh-oleh coklat dari Prancis, Ceko,
Arab Saudi, Singapura atau Cina, serta yang dijual di bandara Bangkok,
Amsterdam, dan Kuala Lumpur. Rasa coklat luar negeri tersebut tidak
berbeda signifikan dengan coklat Blitar. Yang berbeda menyolok adalah
dari segi kemasannya, dimana coklat luar negeri dikemas lebih mewah dan
menarik. Untuk harga, tentu saja di kampung coklat ini lebih murah. Di
etalase lain, tersedia coklat bubuk dalam kemasan besar dan sachet
sekali minum. Pak Kholid menyatakan bahwa workshop coklat membuka
peluang kerjasama untuk memperluas pasar, melalui repackaging atau
membuat lebel sendiri.
Di workshop coklat ini, tersedia paket wisata untuk mempelajari coklat,
diperuntukkan bagi segala kelompok usia. Paket wisata meliputi budidaya
dan olahan tanaman kakao, melihat proses produksi cokelat, cara
menghias cokelat, sampai mengenal bisnis coklat. Peserta wisata
memperoleh layanan fasilitas minuman cokelat, dan membawa pulang cokelat
yang sudah mereka hias. Harga paket wisata kampung coklat adalah 10
ribu rupiah per anak (usia TK), 20 ribu rupiah per siswa SD/SMP, 30 ribu
rupiah persiswa SMA, dan 50 ribu rupiah per orang dewasa atau umum.
Jelasnya, ini cocok untuk wisata keluarga. Kunjungan oleh wisatawan
atau tamu dari luar negeri juga sering terjadi. Mereka umumnya memberikan kesan yang baik dengan kampung coklat.
Kisah kunjungan diatas membuka mata untuk keteladanan hidup. Para
entrepreneur UMKM menampilkan kerja keras, kesungguhan, dan ketangguhan
untuk bertahan dan menemukan nilai tambah. Kunjungan tersebut juga
memberikan pemahaman terhadap kehidupan UKM. UKM dengan berbagai
tantangannya harus dikenali dan dibantu, agar dapat maju dan
berkembang. Membantu mengenali, menyebarkan dan mempromosikan
keberadaan UKM dapat mengembangkan sikap positif bagi pembangunan
ekonomi.
Malang, 25 Agustus 2014
link : http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/2014/08/mengunjungi-ukm-janggelan-pasir-kucing-dan-kampung-coklat/
0 komentar:
Posting Komentar